Cerpen instan
--------------------------------------------------------------------------------------------
Lucu juga bertemu dengan blog ini kembali. Menyadari betapa alaynya postingan-postinganku yang dulu-dulu. Itu dulu loh ya.. dulu. (walaupun sekarang masih sedikit alay sih ^^)
Sebelumnya, saya ingin berterimakasih kepada seseorang (sebut saja bunga, red)
Kalau bukan karena dia (si bunga tadi) mungkin saya sudah lupa kalau ternyata saya masih punya harta karun berupa blog ini.
Karena berawal dari obrolan kami di ponsel tadi menginspirasi saya untuk membuat sebuah cerpen instan di blog ini.
Sekali lagi, Terima kasih, mantan.
MUSIIIIIK!!!
*backsound: Marry me - Train.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Lucu juga bertemu dengan blog ini kembali. Menyadari betapa alaynya postingan-postinganku yang dulu-dulu. Itu dulu loh ya.. dulu. (walaupun sekarang masih sedikit alay sih ^^)
Sebelumnya, saya ingin berterimakasih kepada seseorang (sebut saja bunga, red)
Kalau bukan karena dia (si bunga tadi) mungkin saya sudah lupa kalau ternyata saya masih punya harta karun berupa blog ini.
Karena berawal dari obrolan kami di ponsel tadi menginspirasi saya untuk membuat sebuah cerpen instan di blog ini.
Sekali lagi, Terima kasih, mantan.
MUSIIIIIK!!!
*backsound: Marry me - Train.
--------------------------------------------------------------------------------------------
“Hoaahem”,
Badanku
menggeliat malas. Kubuka kedua mataku secara perlahan. Aku tahu sebagian jiwaku
yang masih tertinggal di alam mimpi. Tubuhku masih enggan untuk beranjak dari
atas kasur tanpa dipan ini. Kuayunkan tanganku ke atas permukaan meja kecil di samping
kasur. Meraba-raba, mencoba mencari keberadaan ponselku dan berusaha meraihnya.
Dengan
mata yang setengah terpejam, kulirik ponselku. Rupanya banyak yang menghiasi
layarnya. Diantaranya ada 25 panggilan tak terjawab, 8 pesan belum terbaca, dan
10 bunyi alarm berlabel “The Wedding” yang terabaikan. Aku langsung terperanjat
kaget.
Belum
juga habis rasa kagetku. Pada kesempatan berikutnya, jantungku hampir copot
saat kulirik jam dinding di sudut tembok kamarku. Pukul 10.00.
Sial,
di hari terpenting dalam hidupku bisa-bisanya aku bangun kesiangan.
Tanpa
pikir panjang, aku langsung loncat dari kasur dan segera berlari menuju kamar
mandi. Mengguyur badan seadanya dan segera keluar kamar mandi dengan keadaan
masih basah kuyup.
Kuraih
setelan jas yang sejak semalam sudah kupersiapkan dan masih tergantung manis di
pegangan pintu lemari. Sesegera mungkin kupakai dengan rapi.
Tanpa
berpikir panjang, hal selanjutnya yang kulakukan adalah memencet keypad
ponselku untuk menghubungi nomor yang sedari tadi diduakan oleh tidurku yang
pulas.
“Hallo,
Assalamualaikum, Ibu….”
Belum
selesai kuucapkan kata-kata selanjutnya, suara di seberang sudah memekik dengan
intonasi tinggi dan nada mirip suara kaset yang diputar dengan mode fast
forward. Suara yang belum-belum sudah menghakimi telingaku hingga panas.
Setelah
kusampaikan permintaan maafku, aku segera berlari menuju garasi rumah dan masuk
ke dalam mobilku. Tancap gas!
*********
“Anak-anak,
perkenalkan teman baru kalian. Namanya Sarti.”
Kamu adalah orang asing. Semacam alien. Ya.. alien
cantik, karena mungkin waktu itu aku belum menemukan kata bidadari dalam
perbendaharaan kataku. Karena bagiku, selama 7 tahun umur hidupku waktu itu,
belum pernah aku menemukan penduduk bumi yang secantik dirimu.
Suasana mendadak ricuh
dan heboh karena kedatanganmu, Sarti. Sementara di suasana luar ruang kelas
kita juga tak kalah heboh. Hidung-hidung aneka rupa menempel di kaca jendela.
Badan-badan berdesakan demi menyaksikan mahakarya tuhan berupa sosok gadis yang
sangat langka dan jarang di temukan di pelosok desa ini.
Kamu jadi salah tingkah sambil tersenyum malu-malu.
Berawal
dari senyummu itu, segalanya terlihat begitu indah. Dan sejak saat itu pula aku
merasakan ada yang sesuatu yang tidak wajar di dalam dadaku. Sesak tapi
menyenangkan.
******
Aku
memarkir mobil di area parkir masjid ini. Sesegera mungkin aku keluar mobil dan
berlari masuk ke dalam masjid.
Seorang lelaki separuh baya telah menungguku di pintu masuk masjid. Aku tahu ada sumpah serapah yang
tertahan di ujung mulutnya. Tapi dari raut wajahnya ada kelegaan yang luar
biasa melihat aku muncul di depan matanya. Beliau segera menyuruhku masuk
karena acara akan segera dimulai
Di
dalam masjid semua orang memandangiku dengan tatapan yang beraneka warna.
Antara marah, kesal, namun juga lega. Di depan ruangan masjid aku melihatnya
dengan terpesona. Sebuah senyuman yang tak pernah berubah sejak pertama kali kumelihatnya
dulu. Ya, pemilik senyum itu adalah Sarti. Dan aku merasa bahagia melihatnya.
Aku
segera maju ke depan ruangan masjid. Disana sudah disediakan sebuah meja kecil
tempat ijab kabul. Dan aku segera duduk bersila di tempat yang telah disediakan
untukku.
Sorot
mata kami saling menyapa. Seketika itu aku tertegun tak mampu berkata-kata.
Mesin waktu di otakku kembali berputar dan aku tenggelam di dalamnya. Hingga
suara Sarti mengagetkanku.
“Pak
penghulu, akadnya bisa dimulai?"
******
“AKU CINTA KAMU, SARTI”
Terlambat. Aku berteriak untuk jutaan kalinya
dalam hidupku. Dalam hati. Sampai mati.
Mayan, setidaknya jadi pak penghulu si sarti, Hm, aku tertipu fa, hehehehe, btw ane pertamax
Siapa suruh cinta diam-diam :)
makasih ji udah mampir